Biografi Buya HAMKA
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA adalah seorang ulama, sastrawan, sejarawan, dan juga politikus
yang sangat terkenal di Indonesia. Buya HAMKA juga seorang pembelajar
yang otodidak dalam bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra,
sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Hamka pernah
ditunjuk sebagai menteri agama dan juga aktif dalam perpolitikan
Indonesia. Hamka lahir di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat,
17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73
tahun.
Sejak muda, HAMKA dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya, memberi gelar Si Bujang Jauh. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhrudin. Saat itu, HAMKA mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman, Yogyakarta.
Sejak perjanjian Roem-Royen 1949, ia pindah ke Jakarta dan memulai kariernya sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim. Waktu itu HAMKA sering memberikan kuliah di berbagai perguruan tinggi Islam di Tanah Air.
Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia. Pada 26 Juli 1977 Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali, melantik HAMKA sebagai Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudian meletakkan jabatan itu pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Pada tahun 1955 HAMKA beliau masuk Konstituante melalui partai Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum. Pada masa inilah pemikiran HAMKA sering bergesekan dengan mainstream politik ketika itu. Misalnya, ketika partai-partai beraliran nasionalis dan komunis menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Dalam pidatonya di Konstituante, HAMKA menyarankan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kalimat tentang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknyan sesuai yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Namun, pemikiran HAMKA ditentang keras oleh sebagian besar anggota Konstituante, termasuk Presiden Sukarno. Perjalanan politiknya bisa dikatakan berakhir ketika Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno pada 1959. Masyumi kemudian diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Meski begitu, HAMKA tidak pernah menaruh dendam terhadap Sukarno. Ketika Sukarno wafat, justru HAMKA yang menjadi imam salatnya. Banyak suara-suara dari rekan sejawat yang mempertanyakan sikap HAMKA. “Ada yang mengatakan Sukarno itu komunis, sehingga tak perlu disalatkan, namun HAMKA tidak peduli. Bagi HAMKA, apa yang dilakukannya atas dasar hubungan persahabatan. Apalagi, di mata HAMKA, Sukarno adalah seorang muslim.
Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, HAMKA dipenjarakan oleh Presiden Soekarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakan, beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia.
Pada tahun 1978, HAMKA lagi-lagi berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadan, yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan.
Idealisme HAMKA kembali diuji ketika tahun 1980 Menteri Agama Alamsyah Ratuprawiranegara meminta MUI mencabut fatwa yang melarang perayaan Natal bersama. Sebagai Ketua MUI, HAMKA langsung menolak keinginan itu. Sikap keras HAMKA kemudian ditanggapi Alamsyah dengan rencana pengunduran diri dari jabatannya. Mendengar niat itu, HAMKA lantas meminta Alamsyah untuk mengurungkannya. Pada saat itu pula HAMKA memutuskan mundur sebagai Ketua MUI.
HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid). Pada 1950, ia mendapat kesempatan untuk melawat ke berbagai negara daratan Arab. Sepulang dari lawatan itu, HAMKA menulis beberapa roman. Antara lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Sebelum menyelesaikan roman-roman di atas, ia telah membuat roman yang lainnya. Seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan merupakan roman yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura. Setelah itu HAMKA menulis lagi di majalah baru Panji Masyarakat yang sempat terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita.
HAMKA dikenal sebagai seorang moderat. Tidak pernah beliau mengeluarkan kata-kata keras, apalagi kasar dalam komunikasinya. Beliau lebih suka memilih menulis roman atau cerpen dalam menyampaikan pesan-pesan moral Islam.
Ada satu yang sangat menarik dari Buya HAMKA, yaitu keteguhannya memegang prinsip yang diyakini. Inilah yang membuat semua orang menyeganinya. Sikap independennya itu sungguh bukan hal yang baru bagi HAMKA. Pada zamam pemerintah Soekarno, HAMKA berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’. Tidak hanya berhenti di situ saja, HAMKA juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya ”Panji Masyarat” pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ”Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno. Ketika tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari HAMKA lebih banyak diisi dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan.
HAMKA meninggalkan karya tulis segudang. Tulisan-tulisannya meliputi banyak bidang kajian: politik (Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret, Urat Tunggang Pancasila), sejarah (Sejarah Ummat Islam, Sejarah Islam di Sumatera), budaya (Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi), akhlak (Kesepaduan Iman & Amal Salih ), dan ilmu-ilmu keislaman (Tashawwuf Modern).
Biografi Buya HAMKA dari Biografi Web
Hamka juga diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. Beliau dibesarkan dalam tradisi Minangkabau. Masa kecil HAMKA dipenuhi gejolak batin karena saat itu terjadi pertentangan yang keras antara kaum adat dan kaum muda tentang pelaksanaan ajaran Islam. Banyak hal-hal yang tidak dibenarkan dalam Islam, tapi dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Putra HAMKA bernama H. Rusydi HAMKA, kader PPP, anggota DPRD DKI Jakarta. Anak Angkat Buya Hamka adalah Yusuf Hamka, Chinese yang masuk Islam.RIWAYAT PENDIDIKAN HAMKA
HAMKA di Sekolah Dasar Maninjau hanya sampai kelas dua. Ketika usia 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.Sejak muda, HAMKA dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya, memberi gelar Si Bujang Jauh. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhrudin. Saat itu, HAMKA mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman, Yogyakarta.
RIWAYAT KARIER HAMKA
HAMKA bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Pada tahun 1929 di Padang Panjang, HAMKA kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957- 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.Sejak perjanjian Roem-Royen 1949, ia pindah ke Jakarta dan memulai kariernya sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim. Waktu itu HAMKA sering memberikan kuliah di berbagai perguruan tinggi Islam di Tanah Air.
Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia. Pada 26 Juli 1977 Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali, melantik HAMKA sebagai Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudian meletakkan jabatan itu pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
RIWAYAT ORGANISASI HAMKA
HAMKA aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bid’ah, tarekat dan kebatinan sesat di Padan g Panjang. Mulai tahun 1928 beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929 HAMKA mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiyah.AKTIVITAS POLITIK HAMKA
Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.Pada tahun 1955 HAMKA beliau masuk Konstituante melalui partai Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum. Pada masa inilah pemikiran HAMKA sering bergesekan dengan mainstream politik ketika itu. Misalnya, ketika partai-partai beraliran nasionalis dan komunis menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Dalam pidatonya di Konstituante, HAMKA menyarankan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kalimat tentang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknyan sesuai yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Namun, pemikiran HAMKA ditentang keras oleh sebagian besar anggota Konstituante, termasuk Presiden Sukarno. Perjalanan politiknya bisa dikatakan berakhir ketika Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno pada 1959. Masyumi kemudian diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Meski begitu, HAMKA tidak pernah menaruh dendam terhadap Sukarno. Ketika Sukarno wafat, justru HAMKA yang menjadi imam salatnya. Banyak suara-suara dari rekan sejawat yang mempertanyakan sikap HAMKA. “Ada yang mengatakan Sukarno itu komunis, sehingga tak perlu disalatkan, namun HAMKA tidak peduli. Bagi HAMKA, apa yang dilakukannya atas dasar hubungan persahabatan. Apalagi, di mata HAMKA, Sukarno adalah seorang muslim.
Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, HAMKA dipenjarakan oleh Presiden Soekarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakan, beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia.
Pada tahun 1978, HAMKA lagi-lagi berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadan, yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan.
Idealisme HAMKA kembali diuji ketika tahun 1980 Menteri Agama Alamsyah Ratuprawiranegara meminta MUI mencabut fatwa yang melarang perayaan Natal bersama. Sebagai Ketua MUI, HAMKA langsung menolak keinginan itu. Sikap keras HAMKA kemudian ditanggapi Alamsyah dengan rencana pengunduran diri dari jabatannya. Mendengar niat itu, HAMKA lantas meminta Alamsyah untuk mengurungkannya. Pada saat itu pula HAMKA memutuskan mundur sebagai Ketua MUI.
AKTIVITAS SASTRA HAMKA
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid). Pada 1950, ia mendapat kesempatan untuk melawat ke berbagai negara daratan Arab. Sepulang dari lawatan itu, HAMKA menulis beberapa roman. Antara lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Sebelum menyelesaikan roman-roman di atas, ia telah membuat roman yang lainnya. Seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan merupakan roman yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura. Setelah itu HAMKA menulis lagi di majalah baru Panji Masyarakat yang sempat terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita.
AKTIVITAS KEAGAMAAN
Setelah peristiwa 1965 dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, HAMKA secara total berperan sebagai ulama. Ia meninggalkan dunia politik dan sastra. Tulisan-tulisannya di Panji Masyarakat sudah merefleksikannya sebagai seorang ulama, dan ini bisa dibaca pada rubrik Dari Hati Ke Hati yang sangat bagus penuturannya. Keulamaan HAMKA lebih menonjol lagi ketika dia menjadi ketua MUI pertama tahun 1975.HAMKA dikenal sebagai seorang moderat. Tidak pernah beliau mengeluarkan kata-kata keras, apalagi kasar dalam komunikasinya. Beliau lebih suka memilih menulis roman atau cerpen dalam menyampaikan pesan-pesan moral Islam.
Ada satu yang sangat menarik dari Buya HAMKA, yaitu keteguhannya memegang prinsip yang diyakini. Inilah yang membuat semua orang menyeganinya. Sikap independennya itu sungguh bukan hal yang baru bagi HAMKA. Pada zamam pemerintah Soekarno, HAMKA berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’. Tidak hanya berhenti di situ saja, HAMKA juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya ”Panji Masyarat” pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ”Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno. Ketika tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari HAMKA lebih banyak diisi dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan.
WAFATNYA HAMKA
Pada tanggal 24 Juli 1981 HAMKA telah pulang ke rahmatullah. Jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan jasanya di seantero Nusantara, ter masuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.PENGHARGAAN
Atas jasa dan karya-karyanya, HAMKA telah menerima anugerah penghargaan, yaitu Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo (tahun 1958), Doctor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (tahun 1958), dan Gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah IndonesiaPANDANGAN HAMKA TENTANG KESASTRAAN
Pandangan sastrawan, HAMKA yang juga dikenal sebagai Tuanku Syekh Mudo Abuya Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo tentang kepenulisan. Buya HAMKA menyatakan ada empat syarat untuk menjadi pengarang. Pertama, memiliki daya khayal atau imajinasi; kedua, memiliki kekuatan ingatan; ketiga, memiliki kekuatan hapalan; dan keempat, memiliki kesanggupan mencurahkan tiga hal tersebut menjadi sebuah tulisan.BUAH PENA BUYA HAMKA
Kitab Tafsir Al-Azhar merupakan karya gemilang Buya HAMKA. Tafsir Al-Quran 30 juz itu salah satu dari 118 lebih karya yang dihasilkan Buya HAMKA semasa hidupnya. Tafsir tersebut dimulainya tahun 1960.HAMKA meninggalkan karya tulis segudang. Tulisan-tulisannya meliputi banyak bidang kajian: politik (Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret, Urat Tunggang Pancasila), sejarah (Sejarah Ummat Islam, Sejarah Islam di Sumatera), budaya (Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi), akhlak (Kesepaduan Iman & Amal Salih ), dan ilmu-ilmu keislaman (Tashawwuf Modern).
Beliau dilahirkan di Sungai Batang maninjau Sumatera Barat pada 17 Februari 1908 (14 Muharam 1326H). Ayahnya ulamak Islam terkenal Dr Haji Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul pembawa faham-faham Pembaharuan Islam di Minangkabau.
Dalam usia 6 tahun (1914) dia di bawa ayahnya ke Padang Panjang. Sewaktu berusia 7 tahun dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya belajar mengaji Quran dengan ayahnya sendiri sehingga khatam. Dari tahun 1916 sampai tahun 1923 dia telah belajar agama pada sekolah-sekolah "Diniyah School" dan "Sumatera Thawalib" di Padang Panjang dan di Parabek. Guru-gurunya waktu itu ialah Sheikh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid dan Zainuddin Labay. Padang Panjang waktu itu rami dengan penuntut ilmu agama Islam, di bawah pimpinan ayahnya sendiri. Di tahun 1924 ia berangkat ke Yogya, dan mulai belajar pergerakan-pergerakan Islam yang mulai bergelora. Ia dapat kursus pergerakan Islam dari H.O.S. Tjokroaminoto, H. Fakhruddin, R.M. Suryopranoto dan iparnya sendiri A.R. st Mansur yang pada waktu itu ada di Pakalongan.
Di tahun 1935 dia pulang ke Padang Panjang. Waktu itulah mulai tumbuh bakatnya sebagai pengarang. Buku yang mula-mula dikarangnya bernama "Khathibul Ummah". Di awal tahun 1927 dia berangkat pula dengan kemahuannya sendiri ke Makkah, sambil menjadi Keresponden dari harian "Pelita Andalas" di Tanjung Pura (Langkat) dan pembantu dari "Bintang Islam" dan "Suara Muhammadiyah" Yogyakarta.
Taun1928 keluarlah buku romannya yang pertama dalam bahasa Minangkabau bernama "Si Sabariyah". Waktu itu pula ia memimpin majalah "Kemaun Zaman" yang terbit hanya beberapa nombor. Tahun 1929 keluarlah buku-bukunya "Agama Dan Perempuan", "Pembela Islam", "Adat Minangkabau Dan Agama Islam" (buku ini dibeslah polis), "Kepentingan Tabligh", "Ayat-ayat Mikraj" dan lain-lain.
Tahun 1930 mulailah ia mengarang dalam sk. "Pembela Islam" Bandung, dan mulailah berkenalan dengan M. Natsir, A. Hassan dan lain-lain. Ketika dia pindah mengajar Makassar diterbitkannya majalah "Al-Mahdi".
Setelah ia kembali ke Sumatera Barat dalam tahun 1935, dan tahun 1936 pergilah dia ke Medan mengeluarkan Mingguan Islam yang mencapai puncak kemasyhuran sebelum perang, iaiatu "Pedoman Masyarakat". Majalah ini dipimpinnya sendiri setelah setahun dikeluarkan, mulai tahun 1936 sampai 1943, iaitu ketika bala tentera Jepun masuk. Di zaman itulah banyak terbit karangan-karangannya dalam lapangan agama, falsafah, tasauf dan roman. Ada yang ditulis di "Pedoman Masyarakat" dan ada pula yang ditulis terlepas. Dan waktu itulah keluar romannya "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck", "Di bawah Lindungan Kaabah", "Merantau Ke Deli", "Terusir", "Keadilan Ilahi" dan lain-lainnya. Dalam hal agama dan falsafah ialah "Tasauf Moden", "Falsafah Hidup", "Lembaga Hidup", "Pedoman Mubaligh Islam", dan lain-lain. Di zaman Jepun dicubanya terbitkan "Semangat Islam" dan "Sejarah Islam Sumatera".
Setelah pecah revolusi, beliau pindah ke Sumatera Barat. Dikeluarkannya buku-buku yang menggoncangkan, "Revolusi Fikiran", "Revolusi Agama", "Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi", "Negara Islam" sesudah "Naskah Renvile", "Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman", "Dari Lembah Cita-cita", "Merdeka", "Islam Dan Demokrasi", "Dilambung Ombak Masyarakat" dan "Menunggu Beduk Berbunyi".
Tahun 1950 beliau berpindah ke Jakarta. Di Jakarta keluar buku-bukunya, "Ayahku", "Kenganan-kenangan Hidup", "Perkembangan Tasauf Dari Abad Ke Abad", "Urat Tunggang Pancasila".
"Riwayat perjalanan ke negeri-negeri Islam", " Di tepi Sungai Nil", "Di tepi Sungai Dajlah", "Mandi Cahaya Di Tanah Suci", "Empat Bulan Di Amerika" dan lain-lain.
Kian lama kian jelaslah coraknya sebagai pengarang, pujangga, filosof Islam, diakui lawan dan kawannya. Dengan keahliannya itu beliau pada tahun 1952 diangkat oleh Pemerintah jadi Anggota "Badan Pertimbangan Kebudayaan" dari Kementerian PP dan K dan menjadi Guru Besar pada Perguruan Tinggi Islam dan Universitas Islam Makassar dan menjadi penasihat Kementerian Agama.
Di samping keasyikannya mempelajari "Kesusasteraan Melayu Klasik", Hamka pun berrsungguh-sungguh mempelajari Kesusasteraan Arab, sebab bahasa asing yang dikuasainya hanyalah bahasa Arab. Drs. Slamet Mulyono, ahli ilmu kesusasteraan Indonesia menyebut Hamka sebagai "Hamzah Fansuri Zaman Baru".
Pada tahun 1955 keluar buku-bukunya "Pelajaran Agama Islam", "Pandangan Hidup Muslim", "Sejarah Hidup Jamaluddin Al Afghany" dan "Sejarah Umat Islam".
Kerana menghargai jasa-jasanya dalam penyiaran Islam dengan bahasa Indonesia yang indah itu, pada permulaan tahun 1959 Majlis Tinggi Universitas Al Azhar Kairo memberi gelar Ustaziyah Fakhiriyah (Doctor Honoris Causa) kepada Hamka. Sejak itu berhaklah beliau memakai title "Dr" di pangkal namanya. Tahun 1962 mulai mentafsir Al-Quran dengan "Tafsir Al-Azhar:. Tafsir ini sebahagian besar dapat diselesaikan selama dalam tahanan selama dua puluh tujuh bulan. (Hari Isnin tanggal 12 Ramadhan 1385, tepat pada 27 Januari 1964 sampai Julai 1969).
Pada tahun-tahun rujuh puluhan keluar pula buku-bukunya "Soal Jawab" (tentang agama Islam),"Muhammadiyah Di Minangkabau", "Kedudukkan Perempuan Dalam Islam", "Doa-doa Rasulullah" dan lain-lain.
Pada Sabtu 6 Jun 1974 dapat gelar "Dr" Kesusasteraan di Malaysia.
Bulan Julai 1975 Musyarawah Alim Ulama Seluruh Indonesia dilangsungkan. Hamka dilantik sebagai Ketua Majlis Ulamak Indonesia pada tanggal 26 Julai 1975 bertepatan dengan 17 Rejab 1395.
Biodata Prof. Dr. Hamka
Haji Abdul Malik Bin Haji Abdul Karim Amarullah ( HAMKA).
Tokoh dari tanah seberang ini sengaja dipilih untuk disisipkan dalam koleksi ini kerana Almarhum Haji Abdul Malik Bin Haji Abdul Karim Amarullah atau dikenali sebagai Prof. Dr Hamka adalah ulama besar Nusantara yang sangat terkenal. Lebih-lebih lagi beliau berasal dari tanah Minangkabau yang mempunyai pertalian dengan masyarakat adat perpatih di Negeri Sembilan. Setiap orang di negara ini yang pernah melihat dan mendengar kuliah agama yang disampaikan oleh tokoh ini pastinya merasai kerinduan yang mendalam terhadap nastolgia lampau. Penyusun sendiri tanpa sedar boleh menitiskan airmata apabila tokoh ‘idola’ ini tersedu dalam ceramah dakwahnya di kaca TV kira-kira awal tahun 1970an dahulu. Gayanya yang tersendiri dalam berdakwah amat memukau sekali bagai magnet yang boleh menyentuh hati setiap insan yang mendengar.
Latar Belakang Ulama
Pak Hamka atau Buya Hamka adalah nama istimewa yang mempunyai nilai tersendiri di persada perkembangan Islam dan dunia kesusasteraan nusantara. Hamka dari singkatan nama Haji Abdul Malik bin Haji Abdul Karim. Almarhum dilahirkan di Kampung Tanah Sirah ( ada riwayat lain mengatakan di Kampung Molek), Negeri Sungai Batang Maninjau, Minangkabau pada 14 Muharram 1326H bersamaan 17 Febuari 1908. Bapanya Haji Abdul Karim Amrullah adalah ulama terkenal Minangkabau yang tersohor dan dianggap pula pembawa reformasi Islam ( kaum muda). Menariknya pula, datuk beliau adalah ulama tarekat yang bersuluk terkenal. Tuan Kisa-i ( datuk Hamka) tetap mengamal Thariqat Naqsyabandiyah, istiqamah mengikut Mazhab Syafie. Pemahaman Islam Tuan Kisa-i sama dengan pegangan ‘Kaum Tua’, tetapi pada zaman beliau istilah ‘Kaum Tua’ dan ‘Kaum Muda’ belum tersebar luas. Anak beliau, Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah, adalah seorang pelopor dan termasuk tokoh besar dalam perjuangan ‘Kaum Muda’. Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah menolak amalan Thariqat Naqsyabandiyah, sekali gus menolak ikatan ‘taqlid’, tetapi lebih cenderung kepada pemikiran Syeikh Muhammad Abduh. Manakala ibunya pula bernama Siti Safiyah Binti Gelanggar yang bergelar Bagindo nan Batuah.
Menurut sejarahnya, bapa beliau pernah dibuang daerah oleh penjajah Belanda ke Sukabumi dalam tahun 1941 lantaran fatwa beliau yang dianggap membahayakan penjajah dan keselamatan umum. Haji Abdul Karim adalah tuan guru kepada Sheikh Haji Ahmad Jelebu[1] yang riwayat hidupnya turut disajikan dalam koleksi ini. Beliau meninggal dunia pada 21 Jun 1945.
Pendidikan
Hamka mendapat pendidikan awal agama dari Madrasah Tawalib yang didirikan oleh bapanya. Masa kecilnya, seperti kanak-kanak lain beliau juga dikatakan lasak dan nakal. Ini diceritakan sendiri oleh Sheikh Haji Ahmad Jelebu bahawa Hamka pernah menyimbah air kepada penuntut lain semasa mengambil wuduk. Selepas itu beliau berguru pula kepada Sheikh Ibrahim Musa di Bukit Tinggi. Dalam tahun 1924, Hamka berhijrah ke Jawa sempat menuntut pula kepada pemimpin gerakan Islam Indonesia seperti Haji Omar Said Chakraminoto. Lain-lain gurunya ialah Haji Fakharudin, Ki Bagus, Hadi Kesumo dan iparnya sendiri Rashid Sultan Mansur.
Kerjaya Hidup
Hamka telah menyertai Gerakan Muhamadiah dan menerajui kepimpinan pertubuhan itu di Padang Panjang tahun 1928. Hamka bergiat aktif bagi menentang gejala khurafat, bidaah dan kebatinan sesat di sana. Beliau menubuhkan Madrasah Mubalighin pada 1929 dan dua berikutnya, Pak Hamka berpindah pula ke Kota Makasar, Sulawesi untuk menjadi pimpinan Muhamadiah.
Keilmuan dan ketokohan yang ada pada beliau mendorong beberapa buah universiti mengambilnya sebagai pensyarah dalam bidang agama dan falsafah. Antara universiti itu ialah Universiti Islam Jakarta, Universiti Mohamadiah Sumatera Barat, Universiti Islam Pemerintah di Jogjakarta dan Universiti Islam Makasar. Bagi mengiktiraf keilmuannya, Universiti Al Azhar, Mesir telah menganugerahkan Doktor Kehormat dalam tahun 1958 dan beliau turut menerima ijazah Doktor Persuratan UKM pada 7 Jun 1974.
Novel-novel dan kitab-kitab
Keistimewaan Pak Hamka ialah kebolehannya menulis novel dan menghasilkan kitab-kitab agama yang terkenal. Berikut ialah beberapa buah buku karangan tersebut:
a. Novel
Tenggelamnya Kapal Vanderwick
Dalam Lembah kehidupan
Di Bawah Lindungan Kaabah - Teater di Istana Budaya
Kenangan Hidup
Merantau Ke Deli
Ayahku
Laila Majnun
Siti Sabariah
b. Kitab Agama dan Falsafah
Tafsir Al Azhar ( 30 Juz)
Khatib Ul Ummah ( 1925)
Tarikh Abu Bakar As Sidiq
Ringkasan Tarikh Umat Islam
Islam dan Adat Minangkabau
Tasawuf Moden
Falsafah Hidup
Lembaga Hidup
Lembaga Budi
c. Majalah
Kemahuan Zaman ( 1929)
Al Mahdi ( 1933)
Pendoman Masyarakat ( 1936 – 1942)
Semangat Islam ( 1944- 1948)
Menara ( 1946-1948)
Panji Masyarakat ( 1959)
No comments:
Post a Comment