FALSAFAH HIDUP PAK HAMKA
Awalanya saya mencoba mereview, buku Falsafah hidup HAMKA. Akhirnya karena kesulitan dalam mereview,
dalam perkembangannya jadilah ia semacam suatu ringkasan. Karena
terlalu panjang, dan dengan pertimbangan sayang kalau sekedar terlantar
memenuhi hardisk komputer saya, akhirnya saya posting dengan dipecah
menjadi tiga bagian:
Hamka: Falsafah Hidup
Ringkasan buku “Falsafah Hidup” Hamka (2)
Ringkasan buku “Falsafah Hidup” Hamka (3)
Sebelum ini saya menulis tentang buku Tan Malaka, Madilog.
Sekarang saya tulis juga bukunya Hamka, yaitu Falsafah Hidup. Kedua
tokoh ini pada pokok tulisannya sama, bicara mengenai filsafat. Kedua
penulis dan tokoh ini memiliki kesamaan dalam menghargai tinggi akal dan
ilmu pengetahuan. Akan tetapi yang membedakannya adalah Tan Malaka
dapat dikatakan sebagai “orang kiri”, dan Hamka memiliki dasar Islam.
Di
bawah ini saya mencoba untuk menyarikan (lebih tepatnya meringkas)
apa-apa yang sekiranya dirasa cukup penting dalam “filosofi hidup”-nya
Hamka ini, dan semoga dapat menjadi sekedar rujukan, bila anda ingin
mengetahui lebih jauh, silahkan dicari ke sumber aslinya. Sebenarnya
cukup sulit untuk menyarikan tulisan Hamka ini, karena padatnya isi yang
dikandung, hampir-hampir kalau perlu digaris bawahi maka sebagian besar
itu dirasa perlu. Akan tetapi tetap saya coba mencari bagian yang
kira-kira paling penting.
Awalnya memang saya hanya hendak sekedar
mereview buku ini, tapi karena sekali lagi, cukup sulit dilakukan
mengingat isi buku ini berupa bahasan mengenai pokok kehidupan yang
mendasar, akhirnya tulisan ini malah semakin melebar, dan berkembang
menjadi sebuah ringkasan dan tak dapat dihindari, tulisannya menjadi
panjang.
Sesuai dengan judul, maka bagian awal yang dibahas Hamka ialah hidup itu sendiri.
Hidup
Setelah
panjang lebar mengurai kehidupan, ilmu otak, syaraf, akal, kehidupan,
pergantian teori-teori kehidupan akhirnya pada ujungnya Hamka menulis:
Siapakah
Dia? Kita tidak tahu dan tidak dapat mengetahui apa zatNya, cuma kita
dapat mengetahui bahwa Dia ada, ialah dari melihat dan mengetahui bekas
perbuatanNya. Kita tidak tahu, kita tidak mendapat. Sebab kita tidak
mendapat, maka telah mendapatlah kita….
Untuk mendatangkan
ketentraman diri, cobalah perhatikan jenis benda yang maujud, perhatikan
zat dan sifatnya, baik yang dapat disaksikan dengan pancaindera atau
yang dapat diperiksa dengan akal. Perubahan-perubahan yang terjadi pada
alam menunjukkan bahwa dia ada mempunyai satu aturan, suatu ketentuan
yang dilalui. Adanya ketentuan-ketentuan yang dilalui menunjukkan bahwa
alam itu terpengaruh oleh sesuatu kekuatan yang kuasanya melebihi dari
kuasa alam. Yang menguasai itu tentu mempunyai segala sifat kelebihan.
Kita tahu bahwa Dia ada, tetapi kita tidak tahu bagaimana DzatNya.
Sedangkan Zat alam sendiri, yang dijadikanNya, yaitu anasir asli
daripada alam, lagi tidak diketahui, kononlah Zat Yang Menjadikan itu.
Disanalah rahasia perkataan Abu Bakar Shiddiq : “Lantaran kelemahan kita
memperdapat siapa Tuhan itu, waktu itulah kita telah mendapat.”
Maka
dapatlah satu kesatuan pokok dari segala undang-undang, yaitu suatu
perubahan yang tidak berubah-ubah. Maka timbullah keinsafan manusia atas
kecil dirinya di hadapan kekuasaan besar itu., yang ada dalam segenap
sang wujud, yang pada lahirnya tampak bercerai tetapi dalam rahasia
tetap bersatu. Diatur oleh SATU tampuk kekuasaan. Lalu bekerja keraslah
mereka menyelidiki dimanakah dan apakah namanya kesatuan segala rahasia
itu. Kadang-kadang terdapatlah namanya menurut ukuran pendapat pada masa
itu, seumpama nus, logos, ether, atom dan lain-lain; dan itupun belum
puas. Dalam kekerasan hati manusia mencari, sudah terang dan jelas bahwa
manusia adalah makhluk istimewa, di dalam alam, yang kepadanya akan
diwariskan bumi dan isinya ini, karena akalnya, maka ZAT yang jadi pokok
kesatuan tadilah yang mulai memberi tahukan siapa dirinya, dengan
perantara makhlukNya sendiri yang dipilihNya, dengan perantara manusia
besar yang menunjukkan jalan bukan dengan maunya, bukan pula dengan
kecerdasan luar biasa dengan pendapat otaknya, tetapi dengan wahyu,
itulah Nabi.
Akal
Seorang
Hukama berkata: “Penderitaan menyebabkan putih rambut yang hitam,
pengalaman membasuh jantungnya, kejadian selalu hari yang dilihat
didengarnya memupuk jiwanya, karena percobaannya, kenallah dia akan awal
dan akhir, pangkal dan akibat. Orang yang beginilah yang patut disebut
berakal. Adalah dia di dalam kaumnya, mengarah-arahi nabi di dalam
umatnya, menjadi pilihan Tuhan buat mengirit merentangkan, berjalan di
barisan muka. Maka mengalirlah dari sumber ketangkasannya dan dari
kecerdikan akal serta lautan ilmunya, segala perkara yang dapat ditiru
diteladan, dijadikan pedoman tujuan hidup”.
Maka orang yang
berakal demikian adalah orang yang mendapat inayat dari Allah. Barang
siapa yang mendapat inayat demikian, lebih kaya ia dari milioner. Sebab
dari batinnya memancar cahaya hidayah rahbaniahnya. Hatinya penuh dengan
kebijaksanaan, sangkanya baik, pengharapan benar. Orang lain melihat
suatu dari kulitnya, sedang ia sampai ke dalam isinya. Sukar tergelincir
dengan sengaja.
Akal dapat diperhalus melaui kias (membandingkan
sebab kepada pangkal sebab), menyelidiki bagian untuk menghukum
semuanya dan menetapkan hukum pada sebagian karena terdapat di bagian
lain. Disebutkan juga tanda-tanda orang berakal adalah selalu menakar
dirinya, selalu berbantah dengan dirinya (kontemplasi, pen), mengingat
sifat kekurangannya, tidak bersukacita lantaran cita-citanya di dunia
yang tidak sampai atau nikmat yang meninggalkannya, enggan menjauhi
orang yang berakal, insaf bahwa diantara akal dan nafsu, atau diantara
fikiran dan hawa nafsu tidaklah terdapat persetujuan, tidak berduka hati
(tidak ada tempat dia takut kecuali Tuhan), tidaklah tersembunyi bagian
cela dirinya, pergi ke medan perang dengan senjata (berbekal kekuatan
sebelum melakukan perjuangan), membandingkan yang belum ada kepada yang
telah ada, yang belum didengar kepada yang telah didengar, orang berakal
hidup buat masyarakat bukan untuk diri sendiri.
Sedangkan tujuan
akal itu sendiri, tujuan yang paling mulia, tujuan akal sejati, tujuan
perjuangan kita di dalam hidup ini adalah ma’rifat Allah, kenal akan
Tuhan, mengerjakan perintahNya dengan taat, menahan diri daripada
memaksiatNya. Ma’rifat Allah terbagi pada tiga tingkatan, Tingkatan yang
paling tinggi adalah yang telah dicapai oleh Nabi-Nabi, orang-orang
siddik yang biasa digelari waliullah, dan syuhada yang telah
mengorbankan jiwanya didalam mempertahankan agama Allah. Yang kedua
adalah pertengahan, ialah yang diperdapat dengan jalan Zhan yang telah
ditafsirkan oleh ahli logat dengan yakin, meskipun belum sampai pada
derajat yang sejati. Yang ketiga adalah yang rendah, yang imannya kepada
Allah hanya lantaran khayal, atau lantaran turut kepada orang banyak,
taklid atau keturunan saja.
Akal dan hawa dua kekuatan yang bertempur dalam diri kita. Akal itu lekas insyaf kalau tersesat.
Lawan
akal dan lawan ilmu yang diberantas kedua-duanya sehabis-habisnya upaya
adalah kejahilan. Kejahilan itu terbagi atas dua bagian besar. Jahil
basil atau jahil tipis ialah lantaran kekurangan akal dan kekurangan
pengalaman dan yang bersangkutan insaf kejahilannya, jahil yang begini
kalau terlanjur mengerjakan kesalahan, lalu diberi ingat mau dia lekas
merubah, karena batinnya masih suci. Jahil murakkah itu lebih berbahaya
karena jahil tidak tahu bahwa dia jahil atau tidak mau tahu. Dan umumnya
jahil murakkab adalah lantaran sombong.
Ada pula kepercayaan
yang membagi derajad orang jahil pada empat bagian. Tingkatan pertama,
orang yang tidak mempunyai pendirian baik yang benar ataupun yang salah
sekalipun, masih kosong. Tingkatan kedua, mempunyai pendirian yang
salah, tetapi dia tidak tahu kesalahannya. Tingkatan ketiga, mempunyai
pendirian salah, disangkanya benar lalu dipegangnya. Keempat, orang yang
mempunyai pendirian salah, tahu akan kesalahan itu, atau bisa
mengetahuinya, akan tetapi tidak mau meninggalkannya.
Golongan
yang keempat macam itu, sudah ditentukan cara menghadapinya. Ada yang
dengan hikmat, memperbanyak misal atau umpama, itulah golongan pertama
dan kedua. Ada yang dengan mau’ziah, dengan memberikan pengajaran dan
peringatan, itulah golongan yang ketiga. Dan ada yang dengan mujadalah
billati hia ahsan, bertukar pikiran dengan jalan yang sebaik-baiknya,
itulah golongan yang keempat. Kalau ketiga ikhtiar itu tidak mempan
juga, bukanlah lagi perkara kita, serahkan kepada Tuhan, habis perkara!
Karena keputusan adalah di tangan Tuhan. Dialah yang memberi hidayah,
bukan kita.
Undang-undang alam
Di
dalam agama Islam, tegasnya di dalam Al-Quran, berbagai nama
undang-undang alam itu. Kadang-kadang ia bernama sunatullah, dan kadang
bernama “As Shiratul Mustaqim”. Dan kadang-kadang bernama “Khalqillah”.
Untuk menuntut ilmu undang-undang alam, tidak perlu orang mencari alam
terlalu banyak. Kehendak yang utama dari undang-undang alam hanya satu
perkara saja, yaitu bersihkan hati nurani dari segala kotorannya, tentu
terbukalah pengetahuan dan terbukalah hijab (dinding) yang membatas
antara hati dengan dia.
Untuk mengetahui dimanakah terentangnya
jalan undang-undang alam itu, manusia-manusi besar (manusia yang mencari
rahasia alam dan pengetahuan, pen) tadi telah menyelidiki pengaruhnya
atas diri kita sendiri. Apakah yang ada pada kita sebagai manusia?
Didapatlah pecahan rahasia itu, yaitu perasaan senang dan sakit.
Dimanakah
letak kepuasan dan kesakitan yang hakiki? Ternyata bahwa bukan dorongan
semata-mata syahwat dan instinct, bahkan lebih tinggi dari itu. Yaitu
kepuasan atau kesakitan jiwa. Itulah tujuan hidup yang hakiki, dan
dengan itulah kita dapat mengetahui dan melihat undang-undang alam tadi.
Agama
bukan filsafat! Tetapi dengan merenung filsafat, orang dapat bertambah
iman dalam agama. Dalam agama seorang yang berbuat kebajikan dijanjikan
dengan kepuasan abadi, yaitu syurga. Orang yang berbuat kejahatan
diancam dengan kesakitan, yaitu neraka. Tandanya senang dan sakit diakui
juga sebagai soal kesudahan hidup yang dihadapi manusia.
Adapun
tentang hal syurga, setelah diterangkan Allah dengan perantara nabi
Muhammad saw bagaimana nikmat yang ada di dalamnya, maka nabi Muhammad
sendiri pernah mengatakan: “Syurga itu adalah barang yang mata belum
pernah melihat, telinga belum pernah mendengar dan lebih tinggi daripada
yang terikhtiar dalam hati.”
Untuk mencapai kesenangan di dunia,
haruslah mencapai kesenangan jiwa dengan meningkat beberapa anak tangga.
Satu diantaranya adalah “budi yang utama”.
Tadi sudah dijelaskan
bahwa mencari kepuasan dan takut akan kesakitan (penderitaan) adalah
setengah dari perkakas untuk pemeliharaan hidup. Tetapi ada pula
kepedihan dan penderitaan yang perlu, dan ada pula penderitaan itu yang
berguna untuk menjaga kehidupan. Disanalah berguna ‘iffah dan syaja’ah.
‘iffah artinya kesanggupan menahan diri, syaja’ah ialah untuk
membangkitkan keberanian menempuh suatu kesakitan yang perlu buat
kemaslahatan kehidupan (misalnya berani operasi demi kesehatan).
Kalau
‘iffah telah kuat, timbullah qana’ah, mencukupkan yang pada diri, bukan
tamah. Bila perangai tamak telah hilang, timbullah perangai amanat,
bisa dipercaya. Bila adil telah tumbuh, timbul pulalah rasa belas
kasihan. Belas kasihan menimbulkan maaf dan maaf menimbulkan ampun.
Perangai yang demikian bernama keutamaan. Keutamaan itulah kemanusiaan.
Tiap-tiap
keutamaan yang bersifat penyerangan (offensif), sebagai tahan, teguh
tangkas, perwira, kesatria, berani menyebrangi bahaya, tidak segan
menghadapi maut, maju ke depan bahaya dan kengerian, terus terang dan
setia memegang pendirian, semuanya ialah buah daripada syaja’ah.
Adapun
kedua perangai utama yang dua tadi, ‘iffah dan syaja’ah ialah mengenai
diri sendiri. Yang mengenai dalam. Adapun yang mengenai diri terhadap
masyarakat, ialah: Adil dan hikmat. ‘Iffah dan syaja’ah terkumpul dalam
I’tidal (sederhana), dan adil serta hikmat terhimpun dalam mahabbah,
cinta saesama manusia.
Wajiblah kita berjuang mengendalikan diri,
supaya kembali pada jalannya yang asli, kepada “undang-undang alam”.
Suruh dia menyelidiki kembali dan memeriksa, menghukum dengan akalnya,
membentuk irama iradatnya, berusaha supaya menang kekuatan yang yakin
daripada kekuatan yang samar. Supaya dapat cahaya hakikat mengusir mega
kejahilan. Biasakan diri di dalam lingkungan utama, jangan banyak
was-was, jangan takut dan putus asa, jangan susah dan duka cita, jangan
gentar dan mundur.
Undang-undang alam asli dan benar, orang yang
melanggarnya terhukum kejam sekali. Kita harus senan tiasa hidup di
dalam garisnya.
Bahwa segala sesuatu yang kita perebutkan di
dunia ini di dalam umur yang begini pendek, baik harta atau pangkat,
atau kehormatan dan pujian, semua hanyalah perkara-perkara tetek bengek,
yang tidak memberikan keuntungan apa-apa. Adanya tidak memberi laba,
hilangnya tidak akan merugikan. Alangkah kecilnya megah dunia
dibandingkan dengan kebesaran nikmat yang abadi, yang diberikan Tuhan
dengan suka redhanya di dalam dada kita.
No comments:
Post a Comment